My LOVE Story (wife’s version) 1st part
TEMAN DAN SAHABAT
Laki-laki yang menjadi suamiku
saat ini, adalah seorang yang aku kenal pertama kali pada tahun 2005, pada saat
aku masih mahasiswa baru di salah satu kampus swasta di Surabaya. Kami bertemu
di lingkup pelayanan Kristen di kampus tersebut. Aku kenal dengan dia karena
dia senior dan juga asal kami sama-sama dari Kupang sehingga mudah untuk dekat.
Sejak saat itu kami pun berteman layaknya seorang senior dan adik angkatan pada
umumnya. Kami berteman bahkan bersahabat selama 3 tahun, sehingga sudah saling
mengetahui bagaimana karakter masing-masing. Itulah enaknya melewati masa pertemanan dan persahabatan, jangan buru-buru masuk dalam relasi pacaran, silahkan baca artikel sebelumnya "Apa Harus Sekarang Pacarannya?" untuk tau lebih banyak. Lewat pertemanan yang menjadi
persahabatan itu, membuat kami saling tau karakter masing-masing, menerima
perbedaan yang ada bahkan bisa saling memberikan masukan jika ada sesuatu hal
yang kurang berkenan yang dilakukan.
PROSES BERDOA
Namun tiba-tiba relasi persahabatan
ini (menurutku) “dihancurkan” karena pada suatu momen – di mana aku memintanya
menemaniku berbelanja – dan dia pun mengatakan untuk mengajak saling mendoakan, mencari pimpinan
Tuhan, apakah relasi ini dapat dilanjutkan ke tahap yang lebih dalam yaitu
berelasi/berpacaran. Jujur waktu itu aku shock
sekali karena merasa tidak punya perasaan apa-apa dan melihat bahwa
hubungan kami hanya sebatas sahabat, tidak lebih dari itu. Sehingga waktu itu
belum bisa memberikan jawaban, dan hanya terdiam membisu sampai kembali ke kos
(ya kami ngekos waktu itu). Pada tanggal 12 Agustus 2008 tepatnya dia mengajakku
bergumul.
Setelah berusaha mengontrol emosi
(yang kaget luar biasa), mengumpulkan keberanian (yang waktu itu takut kalo
bertemu dia), dan sedikit dapat berpikir jernih, lalu memberanikan diri untuk
menceritakan hal ini kepada kakak KTB ku (kakak rohani), dan kakak inilah yang
menuntun dan membangun keberanianku untuk belajar mendoakan secara dewasa dan
bukannya melarikan diri. Lalu pada 21 Agutus 2008, aku memberi tahu jawabannya
bahwa aku bersedia untuk bergumul bersama-sama dengannya, apakah relasi ini
dapat dilanjutkan atau tidak. Jadi, 12 – 21 Agustus itu aku posisinya mendoakan
sendiri (apakah aku dapat menerima tawaran ini). Maka resmilah kami saling
mendoakan pada 21 Agustus 2008.
Lalu hasil dari doa itu aku
bagikan pada 21 Desember 2008, dan jawabannya YA!!! Maka resmilah kami
berpacaran/jadian pada tanggal itu, dan lama proses berdoa kami adalah 4 bulan.
Selama 4 bulan itu, apa yang kami lakukan? Yang pasti berdoa, menanyakan pada
Tuhan apakah kami dapat melanjutkan ke tahap berikutnya, dan juga kami melakukan
PA bersama. Pada proses berdoa ini, kami berusaha untuk tidak terlalu dekat,
dan berusaha untuk menjaga relasi ini agar tetap seperti teman karena status
kami masih dalam proses berdoa, dan supaya tetap netral – yang mana bagian ini tidak
mudah sama sekali.
BERELASI
Setelah resmi berelasi, ada 3 hal
yang ditekankan, dan menurutku ini adalah hal yang sangat penting untuk
dibagikan.
Yang pertama adalah dalam relasi
ini kami tidak mau main-main, sehingga tidak diperbolehkan untuk menggunakan
kata PUTUS sebagai jalan keluar dari masalah/pertengkaran. Banyak pasangan yang
jika bertengkar sangat mudah mengatakan “ya
udah kita putus aja”, atau sejenisnya. Ini adalah solusi yang harus kami
perjuangkan untuk hindari. Karena relasi kami bukan untuk main-main (putus lalu
nyambung, putus lalu nyambung), maka kami belajar jika ada masalah kami mesti
mencari solusi secara dewasa dan bukan dengan mengatakan putus. Ini hal pertama
yang kami hindari.
Yang kedua adalah batasan kontak
fisik. Hal ini penting sekali kami jaga, untuk menjaga kekudusan kami masing-masing. Masing-masing kami punya
kelemahan, dan kami sadar itu. Maka kami mesti ada perjanjian batasan yang ada.
Bersyukurnya selama berelasi (kurang lebih 6 tahun sampai menikah), kami dapat
menjaga komitmen ini, Tuhan terus menjaga kami sampai pernikahan kudus pada
tahun 2015. Dan hanya karena Tuhan saja, dukungan komunitas dan juga tidak eksulusif
dalam berpacaran sehingga komitmen ini dapat terjaga. Batasan fisik yang kami
sepakati adalah pegangan tangan, contoh saat menyeberang jalan. Jika tidak
terlalu dibutuhkan, kami memilih untuk tidak berpegangan tangan. Karena kami
meyakini bahwa pada masa berpacaran,
kesatuan rohanilah yang harus diperjuangkan bukan kesatuan fisik.
Yang ketiga adalah bagaimana
menjaga agar lewat relasi kami, orang lain tidak risih. Apa maknanya? Mungkin tidak
sedikit dari kita akan merasa risih jika bepergian dengan sepasang kekasih yang
membuat dunia rasanya milik mereka saja, sedangkan orang lain tidak diperdulikan.
Atau kasarannya, mau kamu ada atau gak,
gak ngurus, yang pasti ngomong ya berdua, ketawa cekikikan berdua, bisik-bisik
berdua, bermesraan berdua, semuanya berdua. Ada orang lain atau tidak, tidak
terlalu diperdulikan. Kami sangat ANTI dengan gaya pacaran seperti itu. Kami
selalu berusaha jika ada orang lain bersama kami berdua, kami akan melibatkan
orang itu dalam percakapan dan bukannya membuatnya merasa seperti obat nyamuk.
To be Continued…..
Semoga terberkati.
Komentar
Posting Komentar