Pengalaman bersama si imut.
Jumat, 14 Agustus 2015
Rabu 12 Agustus kami melihat seekor anjing kecil yang imut
di Perkantas. Aku langsung suka karena dia sangat imut, padahal aku tidak suka
anjing. K akhung langsung nanya, “mau gak kita bawa pulang dan pelihara di
rumah?”, langsung kuiakan aja, “ya kak, gak papa. Aku suka juga.”
Dan malamnya kami pun membawa si imut ke rumah. Aku juga
sudah memikirkan sebuah nama baru baginya. Tapi gak ku sangka, sampai di rumah
dia pun langsung berulah. Menggonggong sepuasnya. K akhung menaruhnya di halamn
belakang kami yang cukup luas itu. Dan sepanjang malam dia tidak berhenti untuk
menggonggong terus menerus. Entah kelaparan, atau sekedar mencari perhatian..
mmmm kok malah jadi gini ya? Bayanganku, membawa dia ke rumah itu tidak seperti
ini. Dalam pemikiranku, dia akan lebih banyak diam dan tidak membuat keributan.
Untung saja tidak ada tetangga yang protes karena si imut.
Paginya, k Akhung mesti pergi keluar pagi-pagi, jadi
tinggallah aku sendiri sama si imut. Aku meminta k Akhung untuk menaruhnya
tetap di halaman belakang. Oya, sebelumnya k Akhung sempat membuka pintu
sehingga dia bisa main sampai dalam rumah. Nah tinggallah kami berdua dan dia
tidak berhenti menggonggong, mencakar-cakar pintu. Seandainya dia bisa ngomong
bahasa manusia, mungkin dia akan berkata, “tolong, aku mau masuk, jangan
tinggalkan aku sendiri di sini.” Kondisi ini sangat menyiksaku. Sudah aku gak
suka anjing, trus dia ribut terus. Aku sama sekali tidak membuka pintu. Padahal
aku sudah berencana untuk bersih-bersih, memasak, atau apalah. Sementara untuk
melakukan semua itu aku harus membuka pintu belakang. Jadi pagi itu aku hanya
di kamar atau di ruang tamu, tak bisa berbuat apa-apa karena si imut.
Akhirnya, dengan berat hati aku meminta k Akhung untuk
membawanya kembali ke Perkantas karena aku belum siap memelihara seekor
peliharaan. Sangat menghambatku di waktu yang sering terbatas di rumah. Oya,
sekedar info aku baru saja kembali ke Surabaya, sebelumnya aku mengikuti OS
(orientasi staf) Perkantas selama 2 bulan di Jakarta dan beberapa tempat lainnya,
sehingga masih butuh beradaptasi untuk mengatur waktu mengerjakan pekerjaan
rumah dan tetap tepat waktu untuk berangkat kerja. Pagi itu aku sangat jengkel
dan kesal karena sangat tidak produktif di rumah. Harusnya memasak, gak jadi.
Harusnya menjemur atau ngepel, gak jadi. Dengan emosional beserta tangisan, aku
meminta k Akhung untuk mengembalikannya. Maaf ya imut. Kasihan sih. Tapi akan
lebih berbahaya jika aku membiarkannya di rumah, karena bisa bertengkar terus
kami.
Refleksiku, sesuatu yang diputuskan berdasarkan keinginan
semata itu tidak berkenan di hati Tuhan. Keputusan memelihara anjing itu kami
lakukan sangat singkat yaitu dalam sehari. Tanpa melibatkan Tuhan sama sekali.
Kami belum mendoakannya. Kami tidak mendiskusikannya bersama Tuhan. Aku melihat
bahwa sekalipun dalam hal kecil, namun penting untuk mendoakannya terlebih
dahulu. Ini adalah praktik rohani yang butuh diterapkan baik hidup sendirian
maupun berkeluarga.
Semoga memberkati.
Komentar
Posting Komentar