MAKNA KEBANGKITAN NASIONAL BAGIKU


Semoga belum terlalu terlambat menulis sedikit buah pemikiran tentang Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati pada tanggal 20 Mei. Adapun Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) pertama kali dirayakan sebagai momen berdirinya organisasi modern pertama di Indonesia yaitu Budi Utomo pada tahun 1908. Tujuan Budi Utomo sebagai organisasi kepemudaan untuk menyadarkan rakyat Indonesia dan berusaha meningkatkan kemajuan penghidupan bangsa dengan cara mencerdaskan rakyatnya. Juga, untuk menjamin kehidupan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terhormat dengan fokus pendidikan, pengajaran, dan budaya.

Dengan membaca tujuan  mulia dari para pendiri Budi Utomo yaitu dr. Wahidin Soedirohoesodo dan Soetomo demi kemajuan Pendidikan Indonesia, secara pribadi saya merasa tergugah dan semakin semangat untuk mengerjakan pelayanan di kaum muda. Namun pada saat membaca sebuah artikel tajuk rencana di Kompas, 20 Mei membuat saya sedikit bertanya-tanya tentang makna kebangkitan itu sendiri pada saat ini.

“Riset yang dilakukan oleh Central Connecticut State University, Amerika Serikat, pada tahun 2016 dan dikutip oleh UNESCO tentang Tingkat Literasi Negara dan Indonesia menempati urutan 60, dari 61 negara dalam hal minat baca. Minat baca rakyat Indonesia hanya 0,001% atau dari 1,000 penduduk RI, hanya 1 orang yang rajin membaca. Pada tahun 2017 Kominfo mengutip data Wearesocial, menyatakan bahwa orang Indonesia bisa menatap layar gawai tidak kurang dari 9 jam/hari. Pada tahun 2018 Riset Nielsen Media Research menyatakan bahwa warga Indoesia yang disurvei menghabiskan waktu tidak kurang dari 4 jam 53 menit untuk menonton tv dan 3 jam 14 menit untuk berselancar di internet setiap hari. Sementara untuk membaca surat kabar, 31 menit dan 24 menit untuk membaca majalah. Sungguh miris data ini.”

Sudah 112 kali Indonesia merayakan Hari Kebangkitan Nasional, namun tingkat literasi negara ini masih sangat rendah. Apa penyebabnya? Salah satunya, kebiasaan membaca buku belum sepenuhnya digalakkan dari rumah ke rumah. Sebab sejauh ini, sering kali melihat salah satu cara cepat untuk menenangkan anak adalah gadget atau dawai. Tidak heran jika anak-anak yang sudah dibiasakan dengan dawai sejak kecil akan terus terbawa dalam zona nyaman itu. Lalu dimana peran buku? Buku dibaca hanya pada saat ada mempersiapkan ujian dan tugas. Sangat jarang melihat anak muda yang senang membaca buku pada waktu senggangnya. Jika kebiasaan membaca buku rendah, maka tidak heran kebiasaan menulis pun juga rendah.

Karena seringkali berinteraksi dengan anak muda, sedikit banyak saya kenal kebiasaan mahasiswa yang saya bina. Memang harus diakui kegemaran akan buku masih rendah dibandingkan menonton video di internet atau sekedar berselancar di dunia maya. Mereka yang adalah kaum intelektual saja masih banyak yang tidak begitu bersahabat dengan buku. Mereka yang adalah calon-calon pemimpin bangsa ini jauh lebih senang dengan acara atau konten tentang hati daripada otak. Tahu dari mana? Begitu banyak webinar atau acara online bertebaran, dan acara daring tentang hati, dan perasaan jauh lebih diminati daripada yang bermuatan berat dan menguras otak. Mungkin saya harus menerima kondisi ini, dan memulai terus menyemangati kaum muda di sekeliling saya untuk terus berjuang mencintai buku dan mulai menulis. Sebab dengan menulis, mau tidak mau harus membaca untuk menambah isi otak ini. Tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin untuk membangkitkan generasi ini.



Komentar

Postingan Populer